Penggundulan hutan di Borneo awalnya rendah akibat tanah yang tak subur (relatif untuk pulau-pulau sekitarnya), iklim yang kurang mendukung, dan banyaknya penyakit. Penggundulan hutan ini mulai pada masa pertengahan abad keduapuluh dengan didirikannya perkebunan karet, walau ini memiliki sedikit dampak. Penebangan untuk industri meningkat pada tahun 1970 saat Malaysia menghabiskan hutan di semenanjungnya, dan mantan orang kuat Indonesia Presiden Suharto membagikan bidang-bidang tanah hutan yang luas untuk mempererat hubungan politiknya dengan para
jendral tentara. Penebangan hutan semakin meluas secara signifikan pada masa 1980an, dengan jalan-jalan penebangan yang menyediakan akses menuju daerah-daerah terpencil bagi para pengembang dan pekerja yang menetap. Pada saat yang bersamaan, program transmigrasi pemerintah Indonesia sedang sangat gencar digalakkan, mengirimkan lebih dari 18.000 orang per tahun selama dekade tersebut untuk menetap di Kalimantan. Para transmigran ini, kebanyakan orang muda miskin tanpa tempat tinggal dari pulau-pulau pusat yang padat yaitu Jawa dan Bali, ditempatkan dengan biaya dari pemerintah di lahan yang kebanyakan tidak cocok untuk bertani secara tradisional. Tak mampu menopang hidupnya dengan pertanian biasa, kebanyakan dari mereka lantas bekerja di perusahaan-perusahaan penebangan.
PENEBANGAN & TRANSMIGRASI
Penebangan hutan di Borneo tahun 1980an dan 1990an adalah penebangan yang paling intensif yang pernah dilihat dunia, dengan 60-240 meter kubik kayu dipanen per hektar dibandingkan dengan 23 meter kubik per hektar di Amazon. Menurut Curran, pada masa itu lebih banyak kayu yang di ekspor dari Borneo daripada Amerika Latin dan Afrika digabungkan. Di Kalimantan, sebanyak 80 persen dataran rendah dijadikan konsesi untuk kayu, termasuk seluruh hutan bakaunya yang tampak.
Pada akhir tahun 1980an telah jelas bahwa Indonesia dan Malaysia dalam waktu dekat akan menghadapi krisis kayu akibat penebangan yang berlebihan. Permintaan dari pabrik kayu jauh melampaui produksi kayu di Malaysia dan Indonesia. Menurut WWF, pemerintah Indonesia merespon penghabisan sumber ini dengan membuat sistem dengan tiga tipe perkebunan kayu indostri: Hutan Taman Industri (HTI) pertukangan untuk kayu keras, HTI kayu energi untuk kayu bakar dan arang, dan HTI kayu serat untuk bubur kertas dan kertas. Memberikan suplai pada industri kertas yang meluas dengan cepat merupakan yang paling menguntungkan, jadi perkebunan dengan pertumbuhan yang cepat didirikan di daerah-daerah yang telah ditebangi sebelumnya termasuk daerah-daerah hutan perawan. Pemilik perkebunan yang diuntungkan oleh kayu-kayu di hilir memberikan subsidi pada jalan, pabrik penggergajian, dan peminjaman dengan bunga rendah yang diberikan di luar dana reboisasi nasional. Lebih lanjut, kurangnya pengawasan berarti bahwa hutan yang telah ditebangi tersebut jarang ditanam ulang -- usaha dengan biaya besar pada tanah yang terdegradasi -- mengakibatkan tekanan tambahan pada hutan yang terpencil. Menteri Kehutanan* melaporkan bahwa 3,3 juta hektar dialokasikan ke HTI, hanya 829.000 hektar -- atau 25 persen -- telah ditanami ulang pada tahun 2000 (*dikeluarkan oleh Global Forest Watch, Global Forest Watch Indonesia, dan World Resources Institute di tahun 2002). Mayoritas dari pembukaan hutan untuk perkebunan kayu di Kalimantan dilakukan oleh pemilik tanah luas. Antara tahun 1985 dan 1997 para pemilik tanah ini membuka hampir 1,7 juta hektar hutan untuk digantikan dengan pepohonan yang bisa dipanen, sementara para pemilik tanah yang tak luas membuka 467.000 hektar. Bila ditotal, perkebunan ini mencapai 2,1 juta hektar (25 persen) dari 8.5 juta hektar dari hutan yang dibuka pada masa tersebut.
KELAPA SAWIT
Pada saat kayu yang bisa ditebang menjadi langka, ketertarikan pada perkebunan kelapa sawit mulai menyebar di Borneo. Walau pertama kali ditanam di Indonesia pada tahun 1848, baru pertengahan 1990an penanaman kelapa sawit mulai meningkat drastis. Di Malausia, produsen minyak kelapa terbesar di dunia saat ini, perebunan kelapa sawit meningkat dari 60.000 hektar di tahun 1960an menjadi 3 juta hektar di tahun 2001. Di tahun 2004, 30% dari perkebunan ini berada di Sabah, yang memiliki kondisi ideal untuk pertumbuhannya, dan 13% di Sarawak. Bagaimanapun, karena seluruh daerah yang cocok di Semenanjung Malaysia telah digunakan, ekspansi pastilah dilakukan di Borneo Malaysia dan, pada tingkat yang lebih besar, di Kalimantan. Penanaman kelapa sawit telah meningkat dari 186.774 hektar di sabah dan Sarawak pada tahun 1984 menjadi 1.673.721 hektar pada akhir 2003.
Di Kalimantan, kelapa sawit telah meluas lebih cepat: dari 13.140 hektar di tahun 1984 hingga nyaris 1 juta hektar di akhir 2003. Sementara, kebanyakan dari lahan-lahan baru yang dibeli untuk perkebunan ini kurang ideal untuk kelapa sawit, rendahnya perawatan tanaman, digabungkan dengan permintaan pertumbuhan dan sedikitnya pilihan mata pencaharian di kawasan itu, menjadikannya investasi rendah resiko bagi para pemilik perkebunan besar. Menurut studi Lisa Curran di Kalimantan, diperkirakan tingkat pengembalian modal lebih dari 26% selama 25 tahun untuk perkebunan kelapa sawit lebih luas dari 10.000 hektar, walau lahan yang kecil hanya mendapatkan keuntungan yang sedikit lebih rendah. Pemilik perkebunan besar sangat tertolong oleh subsidi yang mencakup fasilitas untuk memproses bahan mentah dan jalanan.
Saat inim hampir separuh lahan pertanian Malaysia adalah kelapa sawit. Di Sabah dan Sarawak, kebanyakan (lebih dari 70 persen) perkebunan kelapa sawit dimiliki oleh negara, dan pemilik lahan kecil hanya mengendalikan bagian kecil dari keseluruhan tanaman tersebut: 6 persen di Sabah, 3 persen di Sarawak. Di Indonesia, pembagiannya sangat berbeda. Para pemilik kecil secara kasar mengendalikan 30 persen dari perkebunan kelapa sawit, sementara perkebunan milik pemerintah hanya 20 persen. Sisanya, sekitar 50 persen, dimiliki oleh investor besar, yang mempunyai hasil tertinggi. Importir terbesar minyak kelapa Malaysia adalah Cina, India, Pakistan, Belanda, dan Mesir, sementara konsumen terbesar minyak kelapa Indonesia adalah India (3 kali lebih besar dari pengguna terbesar berikutnya), Cina, Belanda, Malaysia, dan Pakistan.
Minyak kelapa berasal dari buah tanaman tersebut, yang tumbuh dalam tandan-tandan yang beratnya bisa mencapai 40-50 kg. Sebanyak 100 kg bibit minyak biasanya menghasilkan 20 kg minyak, sementara satu hektar kelapa sawit bisa menghasilkan 5.000 kg minyak mentah, atau hampir 6.000 liter minyak mentah yang bisa digunakan dalam produksi biodiesel. Dengan harga 400 USD per ton kubik, atau 54 USD per barrel, minyak kelapa bersaing dengan minyak konvensional. Di masa depan, harga minyak kelapa diharapkan akan semakin menurun karena lebih banyaknya perkebunan kelapa sawit. Indonesia menargetkan untuk mempunyai 8-10 juta hektar perkebunan di tahun 2010.
jendral tentara. Penebangan hutan semakin meluas secara signifikan pada masa 1980an, dengan jalan-jalan penebangan yang menyediakan akses menuju daerah-daerah terpencil bagi para pengembang dan pekerja yang menetap. Pada saat yang bersamaan, program transmigrasi pemerintah Indonesia sedang sangat gencar digalakkan, mengirimkan lebih dari 18.000 orang per tahun selama dekade tersebut untuk menetap di Kalimantan. Para transmigran ini, kebanyakan orang muda miskin tanpa tempat tinggal dari pulau-pulau pusat yang padat yaitu Jawa dan Bali, ditempatkan dengan biaya dari pemerintah di lahan yang kebanyakan tidak cocok untuk bertani secara tradisional. Tak mampu menopang hidupnya dengan pertanian biasa, kebanyakan dari mereka lantas bekerja di perusahaan-perusahaan penebangan.
PENEBANGAN & TRANSMIGRASI
Penebangan hutan di Borneo tahun 1980an dan 1990an adalah penebangan yang paling intensif yang pernah dilihat dunia, dengan 60-240 meter kubik kayu dipanen per hektar dibandingkan dengan 23 meter kubik per hektar di Amazon. Menurut Curran, pada masa itu lebih banyak kayu yang di ekspor dari Borneo daripada Amerika Latin dan Afrika digabungkan. Di Kalimantan, sebanyak 80 persen dataran rendah dijadikan konsesi untuk kayu, termasuk seluruh hutan bakaunya yang tampak.
Pada akhir tahun 1980an telah jelas bahwa Indonesia dan Malaysia dalam waktu dekat akan menghadapi krisis kayu akibat penebangan yang berlebihan. Permintaan dari pabrik kayu jauh melampaui produksi kayu di Malaysia dan Indonesia. Menurut WWF, pemerintah Indonesia merespon penghabisan sumber ini dengan membuat sistem dengan tiga tipe perkebunan kayu indostri: Hutan Taman Industri (HTI) pertukangan untuk kayu keras, HTI kayu energi untuk kayu bakar dan arang, dan HTI kayu serat untuk bubur kertas dan kertas. Memberikan suplai pada industri kertas yang meluas dengan cepat merupakan yang paling menguntungkan, jadi perkebunan dengan pertumbuhan yang cepat didirikan di daerah-daerah yang telah ditebangi sebelumnya termasuk daerah-daerah hutan perawan. Pemilik perkebunan yang diuntungkan oleh kayu-kayu di hilir memberikan subsidi pada jalan, pabrik penggergajian, dan peminjaman dengan bunga rendah yang diberikan di luar dana reboisasi nasional. Lebih lanjut, kurangnya pengawasan berarti bahwa hutan yang telah ditebangi tersebut jarang ditanam ulang -- usaha dengan biaya besar pada tanah yang terdegradasi -- mengakibatkan tekanan tambahan pada hutan yang terpencil. Menteri Kehutanan* melaporkan bahwa 3,3 juta hektar dialokasikan ke HTI, hanya 829.000 hektar -- atau 25 persen -- telah ditanami ulang pada tahun 2000 (*dikeluarkan oleh Global Forest Watch, Global Forest Watch Indonesia, dan World Resources Institute di tahun 2002). Mayoritas dari pembukaan hutan untuk perkebunan kayu di Kalimantan dilakukan oleh pemilik tanah luas. Antara tahun 1985 dan 1997 para pemilik tanah ini membuka hampir 1,7 juta hektar hutan untuk digantikan dengan pepohonan yang bisa dipanen, sementara para pemilik tanah yang tak luas membuka 467.000 hektar. Bila ditotal, perkebunan ini mencapai 2,1 juta hektar (25 persen) dari 8.5 juta hektar dari hutan yang dibuka pada masa tersebut.
KELAPA SAWIT
Pada saat kayu yang bisa ditebang menjadi langka, ketertarikan pada perkebunan kelapa sawit mulai menyebar di Borneo. Walau pertama kali ditanam di Indonesia pada tahun 1848, baru pertengahan 1990an penanaman kelapa sawit mulai meningkat drastis. Di Malausia, produsen minyak kelapa terbesar di dunia saat ini, perebunan kelapa sawit meningkat dari 60.000 hektar di tahun 1960an menjadi 3 juta hektar di tahun 2001. Di tahun 2004, 30% dari perkebunan ini berada di Sabah, yang memiliki kondisi ideal untuk pertumbuhannya, dan 13% di Sarawak. Bagaimanapun, karena seluruh daerah yang cocok di Semenanjung Malaysia telah digunakan, ekspansi pastilah dilakukan di Borneo Malaysia dan, pada tingkat yang lebih besar, di Kalimantan. Penanaman kelapa sawit telah meningkat dari 186.774 hektar di sabah dan Sarawak pada tahun 1984 menjadi 1.673.721 hektar pada akhir 2003.
Di Kalimantan, kelapa sawit telah meluas lebih cepat: dari 13.140 hektar di tahun 1984 hingga nyaris 1 juta hektar di akhir 2003. Sementara, kebanyakan dari lahan-lahan baru yang dibeli untuk perkebunan ini kurang ideal untuk kelapa sawit, rendahnya perawatan tanaman, digabungkan dengan permintaan pertumbuhan dan sedikitnya pilihan mata pencaharian di kawasan itu, menjadikannya investasi rendah resiko bagi para pemilik perkebunan besar. Menurut studi Lisa Curran di Kalimantan, diperkirakan tingkat pengembalian modal lebih dari 26% selama 25 tahun untuk perkebunan kelapa sawit lebih luas dari 10.000 hektar, walau lahan yang kecil hanya mendapatkan keuntungan yang sedikit lebih rendah. Pemilik perkebunan besar sangat tertolong oleh subsidi yang mencakup fasilitas untuk memproses bahan mentah dan jalanan.
Saat inim hampir separuh lahan pertanian Malaysia adalah kelapa sawit. Di Sabah dan Sarawak, kebanyakan (lebih dari 70 persen) perkebunan kelapa sawit dimiliki oleh negara, dan pemilik lahan kecil hanya mengendalikan bagian kecil dari keseluruhan tanaman tersebut: 6 persen di Sabah, 3 persen di Sarawak. Di Indonesia, pembagiannya sangat berbeda. Para pemilik kecil secara kasar mengendalikan 30 persen dari perkebunan kelapa sawit, sementara perkebunan milik pemerintah hanya 20 persen. Sisanya, sekitar 50 persen, dimiliki oleh investor besar, yang mempunyai hasil tertinggi. Importir terbesar minyak kelapa Malaysia adalah Cina, India, Pakistan, Belanda, dan Mesir, sementara konsumen terbesar minyak kelapa Indonesia adalah India (3 kali lebih besar dari pengguna terbesar berikutnya), Cina, Belanda, Malaysia, dan Pakistan.
Minyak kelapa berasal dari buah tanaman tersebut, yang tumbuh dalam tandan-tandan yang beratnya bisa mencapai 40-50 kg. Sebanyak 100 kg bibit minyak biasanya menghasilkan 20 kg minyak, sementara satu hektar kelapa sawit bisa menghasilkan 5.000 kg minyak mentah, atau hampir 6.000 liter minyak mentah yang bisa digunakan dalam produksi biodiesel. Dengan harga 400 USD per ton kubik, atau 54 USD per barrel, minyak kelapa bersaing dengan minyak konvensional. Di masa depan, harga minyak kelapa diharapkan akan semakin menurun karena lebih banyaknya perkebunan kelapa sawit. Indonesia menargetkan untuk mempunyai 8-10 juta hektar perkebunan di tahun 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar