Hutan-hutan di Borneo adalah beberapa hutan yang memiliki keanekaragaman hayati paling banyak di planet ini. Menurut WWF, pulau ini diperkirakan memiliki setidaknya 222 spesies mamalia (44 darinya khas), 420 burung yang menetap (37 khas), 100 amphibi, 394 ikan (19 khas), dan 15.000 tumbuhan (6.000 khas) -- lebih dari 400 dari yang telah ditemukan sejak tahun 1994. Survey menemukan lebih dari 700 spesies pohon di lahan 10 hektar -- sebuah angka yang sama dengan jumlah pohon di Kanada dan Amerika Serikat, digabung. Dari ujung ke ujung Borneo, ditemukan beberapa ekosistem yang berbeda. Ini telah dibahas dalam laporan WWF "Borneo: Treasure Island at Risk" (2005).
Bakau
Bakau ditemukan di daerah pesisir dan muara. WWF memperkirakan bahwa luas daerah yang ditumbuhi bakau di Borneo mencapai 1,2 juta hektar, bagian yang sedikit -- mungkin kurang dari 20 persen -- dari keberadaan aslinya. Di Kalimantan, banyak kawasan bakau dibuka oleh para penebang hutan dan untuk pertanian.
Hutan Rawa gambut
Hutan rawa gambut adalah bentukan dominan dari apa yang tersisa di dataran rendah hutan di Borneo saat ini. hutan rawa ini muncul di daerah-daerah dimana vegetasi mati dipenuhi air dan, terlalu basah untuk membusuk, menumpuk sedikit demi sedikit menjadi rawa gambut. Tanah gambut tropis yang terbentuk dalam masa lebih dari ratusan tahun ini, adalah gudang raksasa untuk karbon. Mengeringkan dan/atau membakar tanah-tanah ini, akan melepaskan jumlah karbon dioksida yang luar biasa ke atmosfer. Daerah yang dikeringkan ini juga menjadi sangat mudah terbakar. Di bawah kondisi kering el Nino tahun 1997-1998, ribuan kebakaran mengamuk di daerah rawa gambut di Indonesia. Kebakaran di rawa gambut sangat sulit dipadamkan karena mereka dapat terbakar selama bulanan, dan tak akan terdeteksi secara sepintas karena terbakar di lapisan-lapisan lebih dalam dari tanah gambut tersebut. Di tahun 2002, menurut Langner dan Siegert (2005), hutan tanah gemuk ini menyelimuti sekitar 10 juta hektar di Borneo.
Hutan Pegunungan
Hutan pegunungan di Borneo biasanya ditemukan pada ketinggian 900 meter hingga 3.300 meter. Pohon-pohon di hutan ini umumnya lebih pendek dari yang ada di hutan dataran rendah, akibatnya kanopi yang ada pun tak terlalu lebat. Langner dan Siegert (2005) memperkirakan bahwa di tahun 2002 tersisa sekitar 70 persen (1,6 juta hektar) dari luas asli hutan montane di Borneo (2,27 juta hektar).
Hutan Kerangas
Hutan kerangas atau keranggas ditemukan di daerah yang sangat kering, dengan tanah berpasir yang sangat miskin nutrisi ("keranggas" adalah bahasa penduduk Iban untuk "tanah yang tak akan menumbuhkan beras"). Hutan-hutan ini dicirikan oleh pepohonan spesies tertentu yang toleran terhadap buruknya kondisi tanah, yang juga mengandung asam, dan sangat tidak bisa dibandingkan dengan hutan hujan pada umumnya. Hutan heath juga memiliki keanekaragaman hayati yang lebih sedikit dibandingkan dengan wilayah tumbuhan tropis lainnya. MacKinnon et al. (1997) memperkirakan bahwa dulunya Borneo pernah memiliki 6.668.200 hektar hutan heath. Saat ini luasnya sudah sangat berkurang hingga Bank Dunia memperkirakan bahwa hampir tak akan ada hutan heath lagi di Borneo pada tahun 2010.
Hutan Dipterokarpa
Hutan dipterokarpa di dataran rendah adalah hutan yang paling beragam penghuninya dan paling terancam di Borneo (68% dataran rendah telah ditebangi di Kalimantan, 65% di Malaysia). Pepohonan raksasa ini, biasanya lebih tinggi dari 45 meter, adalah sumber kayu-kayu yang paling bernilai di Borneo dan telah ditebangi dengan buasnya selama 3 dekade ini. Langner dan Siegert (2005) memperkirakan bahwa hanya kurang dari 30 juta hektar hutan dipterokarpa dataran rendah yang tersisa di Borneo pada tahun 2002. Meratanya dipterokarpas ini memberikan hutan-hutan Borneo dinamika tak biasa yang sangat terkait dengan fenomena atmosfer kelautan yang dinamakan El NiƱo-Southern Oscillation (juga dikenal sebagai ENSO atau "El Nino").
Menurut Lisa Curran, seorang biologis yang menghabiskan lebih dari 20 tahun di Borneo dan sekarang menjadi ahli terkemuka tentang sejarah alam pulau tersebut, reproduksi dipterokarpa sangat tak mungkin dilepaskan dari datangnya El Nino, dengan 80-93% dari spesiesnya menyamakan saat berbunga mereka dengan kondisi cuaca kering, yang biasanya muncul dalam jangka waktu 4 tahunan. Selama "tahun dipterokarpa" di Kalimantan, kanopi-kanopi menjadi berwarna-warni, seiring ribuan pepohonan dipterokarpa -- tiap pohonnya mungkin memiliki 4000 bunga -- berbunga selama masa 6 minggu, secara bergantian membuat lapar dan menimbuni pemakan bibit, hingga paling tidak sebagian bibit selamat hingga masa pengecambahan. Berbunga secara massal dan diikuti dengan musim berbuah -- yang telah diketahui akan sama dalam wilayah seluas 150 juta hektar (370 juta are) dan melibatkan 1.870 spesies -- adalah anugerah bagi para pemakan bibit, termasuk babi hutan yang merupakan pemakan bibit utaman dalam ekosistem.
Bibit dan babi hutan sangat lazim ditemui pada masa ini, hingga penduduk lokal melihat datangnya El Nino sebagai masa makmur, saat untuk memanen kacang Illipe untuk diekspor atau mengenyangkan diri dengan daging babi. Hubungan tersebut telah terjalin setua manusia telah tinggal di Borneo dan telah mengakar pada budaya masyarakatnya, mulai dari suku pedalaman hingga pedagang pesisir. Namun, di beberapa tahun terakhir, sistem ini sepertinya telah mulai terputus akibat perubahan penggunaan tanah.
Dr. CUrran, yang dianugerahi MacArthur genius award tahun 2006 berkat penelitiannya di area ini, mengatakan bahwa penebangan pohon yang intensif ini telah dibayar mahal oleh siklus reproduksi ini. Curran menemukan bahwa produksi bibit ini jatuh dari 175 pon per are di tahun 1991 hingga 16,5 pon per are di tahun 1998, meski saat itu merupakan masa tahun El Nino terparah menurut catatan. Sepertinya penebangan hutan telah mengurangi kepadatan lokal dan biomass dari pepohonan dewasa di bawah ambang kritis. Lebih lanjut, pengenalan kebakaran pada daerah yang sebelumnya tak memiliki pengalaman terbakar, telah memperburuk tekanan kekeringan dan menyebankan transformasi radikal pada ekologi hutan. Saat ini, tahun el Nino tak lagi merupakan tahun kemakmuran. Seperti yang dikatakan Curran saat berkunjung ke California, "El Nino telah menjadi penghancur yang hebat, bukannya pemberi yang agung." Perubahan penggunaan tanah telah merusak apa yang dulunya merupakan ekosistem yang terkait erat.
Dampak ini meluas ke seluruh Borneo, dengan kebakaran tahunan yang menyebabkan tersebarnya polusi (sering disebut 'asap') yang bisa menyebar hingga Australia, Cina, dan India. Kebakaran ini melepaskan jumlah karbon dioksida yang luar biasa, terutama saat hutan tanah gambut Borneo terbakar. Dengan 518 ton karbon per hektar - salah satu tingkat tertinggi biomass di planet - ekosistem ini bisa menyumbangkan hingga 2 milyar ton karbon dioksida ke atmosfer pada beberapa tahun, menjadikan Indonesia pembuat polusi rumah kaca terbesar ketiga, meski hanya memiliki ekonomi urutan ke 22 terbesar sedunia.
Beberapa ilmuwan mengkhawatirkan bahwa kebakaran dan perubahan iklim merupakan lingkaran respon balik positif yang hanya memperburuk kondisi, menciptakan iklim yang semakin kering, semakin banyak kebakaran, dan emisi karbon yang lebih tinggi.
Menurut Lisa Curran, seorang biologis yang menghabiskan lebih dari 20 tahun di Borneo dan sekarang menjadi ahli terkemuka tentang sejarah alam pulau tersebut, reproduksi dipterokarpa sangat tak mungkin dilepaskan dari datangnya El Nino, dengan 80-93% dari spesiesnya menyamakan saat berbunga mereka dengan kondisi cuaca kering, yang biasanya muncul dalam jangka waktu 4 tahunan. Selama "tahun dipterokarpa" di Kalimantan, kanopi-kanopi menjadi berwarna-warni, seiring ribuan pepohonan dipterokarpa -- tiap pohonnya mungkin memiliki 4000 bunga -- berbunga selama masa 6 minggu, secara bergantian membuat lapar dan menimbuni pemakan bibit, hingga paling tidak sebagian bibit selamat hingga masa pengecambahan. Berbunga secara massal dan diikuti dengan musim berbuah -- yang telah diketahui akan sama dalam wilayah seluas 150 juta hektar (370 juta are) dan melibatkan 1.870 spesies -- adalah anugerah bagi para pemakan bibit, termasuk babi hutan yang merupakan pemakan bibit utaman dalam ekosistem.
Bibit dan babi hutan sangat lazim ditemui pada masa ini, hingga penduduk lokal melihat datangnya El Nino sebagai masa makmur, saat untuk memanen kacang Illipe untuk diekspor atau mengenyangkan diri dengan daging babi. Hubungan tersebut telah terjalin setua manusia telah tinggal di Borneo dan telah mengakar pada budaya masyarakatnya, mulai dari suku pedalaman hingga pedagang pesisir. Namun, di beberapa tahun terakhir, sistem ini sepertinya telah mulai terputus akibat perubahan penggunaan tanah.
Dr. CUrran, yang dianugerahi MacArthur genius award tahun 2006 berkat penelitiannya di area ini, mengatakan bahwa penebangan pohon yang intensif ini telah dibayar mahal oleh siklus reproduksi ini. Curran menemukan bahwa produksi bibit ini jatuh dari 175 pon per are di tahun 1991 hingga 16,5 pon per are di tahun 1998, meski saat itu merupakan masa tahun El Nino terparah menurut catatan. Sepertinya penebangan hutan telah mengurangi kepadatan lokal dan biomass dari pepohonan dewasa di bawah ambang kritis. Lebih lanjut, pengenalan kebakaran pada daerah yang sebelumnya tak memiliki pengalaman terbakar, telah memperburuk tekanan kekeringan dan menyebankan transformasi radikal pada ekologi hutan. Saat ini, tahun el Nino tak lagi merupakan tahun kemakmuran. Seperti yang dikatakan Curran saat berkunjung ke California, "El Nino telah menjadi penghancur yang hebat, bukannya pemberi yang agung." Perubahan penggunaan tanah telah merusak apa yang dulunya merupakan ekosistem yang terkait erat.
Dampak ini meluas ke seluruh Borneo, dengan kebakaran tahunan yang menyebabkan tersebarnya polusi (sering disebut 'asap') yang bisa menyebar hingga Australia, Cina, dan India. Kebakaran ini melepaskan jumlah karbon dioksida yang luar biasa, terutama saat hutan tanah gambut Borneo terbakar. Dengan 518 ton karbon per hektar - salah satu tingkat tertinggi biomass di planet - ekosistem ini bisa menyumbangkan hingga 2 milyar ton karbon dioksida ke atmosfer pada beberapa tahun, menjadikan Indonesia pembuat polusi rumah kaca terbesar ketiga, meski hanya memiliki ekonomi urutan ke 22 terbesar sedunia.
Beberapa ilmuwan mengkhawatirkan bahwa kebakaran dan perubahan iklim merupakan lingkaran respon balik positif yang hanya memperburuk kondisi, menciptakan iklim yang semakin kering, semakin banyak kebakaran, dan emisi karbon yang lebih tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar